JAKARTA , – Penggunaan media sosial dianggap baik dan efisien karena dapat menjangkau berbagai pihak dan sektor, tetapi banyak akun dan bot yang kemudian dapat menyebabkan berbagai permasalahan serta konflik sosial.
Demikian disampaikan Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute pada diskusi publik “Kampanye Politik di Media Sosial yang Partisipatif dan Edukatif”.
Acara yang dimoderatori Benni Yusriza ini merupakan kerjasama Universitas Paramadina dan The Indonesian Institute yang diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Senin (2/10/2023).
Adinda menjelaskan bahwa konflik sosial salah satunya berasal dari berita hoaks atau informasi bohong dalam pemberitaan. Pada saat pemilu 2019 sebanyak 973 berita hoaks, kemudian pada pilkada 2020 terdapat 47 berita hoaks yang hingga saat ini terus bertambah.
Penggunaan Media Sosial yang Partisipatif dan Edukatif
“Peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah saat ini belum cukup untuk merespon berbagai pemberitaan yang ada di media sosial. Berbagai peraturan tersebut masih bersifat teknikal, dan sangat berbeda penggunaan sosial media saat ini dengan media konvensional. Selain itu, masih ada permasalahan mengenai kampanye melalui media sosial belum diatur secara rigid.” Ujarnya.
Pembicara lainnya, Husni Mubarak peneliti PUSAD Paramadina mengungkapkan bahwa hasutan kebencian memang sengaja untuk menghasut. Sedangkan pelintiran kebencian merupakan bentuk hasutan dan mencari korban.
Husni juga memberikan contoh narasi negatif dalam konteks menyudutkan lawan dengan identitas khusus. Narasi untuk mengajak menjadi pesimis lawan politik dan musuh bukan kompetitor. Dan bangsa kita sedang terancam hancur bila kita kalah.
“Sedangkan contoh narasi positif dengan inklusif merangkul, karakternya kita bersama mereka, optimistik, pertemanan, dan bersama kita bisa.” Tambahnya.
Baca juga: 4 Anggota KKB Tewas Di Tembak Tim Gabungan TNI-POLRI di Pengunungan Bintang
Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam dalam paparannya menyatakan bahwa hoax, hate speech, dan lain sebagainya dijadikan sebagai produk yang di orkestrasi oleh kekuatan tertentu. Yaitu kekuatan bisnis.
“Tetapi tak hanya kekuatan bisnis, ada kekuatan lain seperti pada sosial media TikTok. Basis dari data TikTok tersebar dengan menetapkan algoritma dan melakukan publikasi dengan sebebas-bebasnya.
Tak hanya melalui Tiktok, manipulasi opini publik dapat dilakukan melalui berbagai platform media sosial lainnya. Maka dari itu harus tetap melakukan filter terhadap berbagai pemberitaan mengenai disinformasi yang ada mengenai pemilu kedepannya.” Katanya. (at)