PALEMBANG , – Sejak dua tahun terkahir angka penambahan jumlah calon pengantin di Palembang menurun drastis. Pasalnya, dari yang sebelumnya capai 1000 lebih pasangan baru, kini hanya berkisar 500 hingga 700 pasangan baru perbulan.
Kepala Kementrian Agama Kota Palembang, Deni Priansyah, S.Ag, MPdi, mengatakan penurunan jumlah pasangan calon pengantin itu karena rata-rata mereka sengaja menunda menikah mengingat aturan ketat yang diterapkan pemerintah selama masa pandemi. Bahkan masuk momen Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 aturan bahkan semakin ketat.
“Dulu sebulan bisa diatas 1000 pasangan baru yang menikah, sekarang turun, bisa 500 sampai 700an pasangan. Mereka memang sengaja menunda karena pandemi dengan aturan yang sangat ketat, ” ujarnya saat dihubungi, Kamis 5/8/2021.
Deni menjelaskan, sesuai surat edaran Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Republik lndonesia, calon pasangan pengantin wajib menjalankan pernikahan dengan standar prokes kesehatan yang ketat dan tidak boleh mengadakan kerumuman dalam bentuk apapun.
Makanya pelaksanaanya diatur, seperti saat akad nikah yang hadir dalam ruangan tersebut tak boleh lebih dari 10 orang, yakni dua orang calon pengantin pria dan wanita, empat orang pendamping pengantin yakni masing-masing orang tua pengantin pria dan wanita, dua orang saksi pernikahan, satu petugas petugas pemimpin pernikahan dan satu lagi pembawa acara.
“Pasangan pengantin juga dilarang keras membuat pesta yang berpotensi menimbulkan kerumunan orang banyak, tapi mereka bisa tetap bersilaturahmi antar keluarga melalui open house perkelompok dalam waktu tertentu,” katanya.
>> Allianz Life Syariah Ajak Masyarakat Mengenal Lebih Jauh Wakaf pada Asuransi Syariah
“Istilahnya shif-shiftan. Tamu tiap shift dibatasi hanya 30 orang saja dalam open house itu. tamu datang, salaman lalu makan dan pergi,” tambah Deni.
Selain itu, lanjut dia, pasangan pengantin saat menggelar open house wajib mendapatkan izin dari pemerintah setempat minimal Ketua RT/RW hingga lurah dengan diawasi satgas Covid 19 setempat. “Ini salah satu aturan yang wajib ditaati. Jika melanggar, kegiatan bisa saja dibubarkan,” ucapnya.
Selama masa pandemi, lanjut Deni, banyak pasangan juga memilih menikah di kantor KUA setempat atau balai nikah. Jika yang bersangkutan menikah disana maka semua biaya akan digratiskan. “Tapi kalau akad nikah di rumah, pasangan wajib membayar biaya pernikahan sebesar Rp 600 ribu, yang wajib disetor ke bank sebelum pelaksanaan akad nikah,” bebernya.
Dengan banyaknya aturan yang ketat inilah, lanjut Deni, yang membuat banyak pasangan menunda pernikahan. Turunnya angka calon pasangan yang menikah selama pandemi ternyata berbanding terbalik dengan kisruh rumah tangga yang justru naik hingga 30 persen.
Dari data BP4 selama pandemi terjadi peningkatan kasus rumah tangga. Rata mereka yang melapor adalah istri dengan berbagai masalah, seperti KDRT, dugaan perselingkuhan suami atau istri, masalah ekonomi dan kasus-kasus sosial lainnya.
Kemenag, lanjut dia, berupaya melakukan mediasi terhadap pasangan yang bermasalah. Namun jika keduanya menolak berdamai, baru dibuatkan surat pengantar permohonan perceraian ke pengadilan Agama.
“Kalau tidak bisa dimediasi, maka kita baru buatkan surat pengantar untuk perceraian ke pengadilan Agama,” pungkasnya. (ynti)