Haruskah Menunggu Sempurna Untuk Menasehati ?

Photo dok: rj1

Penulis: Euis Fitriani Nurfaridah, S. Pd.    (Ummu Aisyah) +62 812-1478-0035

editor: wanz.

Sumber Hadist: rumaysho.com

 

Sering kita dapati sebagian orang enggan memberikan nasehat atau pesan kebaikan atau  amal ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain karena takut diri sendiri belum mampu melaksanakan apa yang diperintahkan tersebut atau merasa belum sanggup untuk meninggalkan kemungkaran yang hendak ia larang tersebut.

Benarkah demikian syarat menasehati orang lain harus sempurna dulu amalannya atau harus bersih dari dosa (maksum)?

Saudaraku yang Allah cintai, janganlah ragu untuk melakukan amal ma’ruf, berikanlah nasehat, berikanlah pesan kebaikan kepada orang lain walaupun kita masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.
Jika benar syarat menasehati harus orang yang maksum, maka tidak ada lagi nasehat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ada lagi yang maksum kecuali beliau.

Simak perkataan dari Ibnu Rajab Al-Hambali berikut.

فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده

Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasehati dan saling mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasehat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada lagi yang maksum.”
[Lathaif Al-Ma’arif fima Al-Mawasim Al-‘Aam mi Al-Wazhaif. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami]

Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad yang dha’if, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مروا بالمعروف و إن لم تعملوا به كله و انهوا عن المنكر و إن لم تتناهوا عنه كله

Perintahkanlah pada yang makruf (kebaikan), walau engkau tidak mengamalkan semuanya. Laranglah dari kemungkaran walau engkau tidak bisa jauhi semua larangan yang ada.”

Penjelasan di atas bukan berarti kita boleh tetap terus dalam maksiat. Maksiat tetaplah ditinggalkan. Pemaparan Ibnu Rajab hanya ingin menekankan bahwa jangan sampai patah semangat dalam menasehati orang lain walau diri kita belum baik atau belum sempurna. Yang penting kita mau terus memperbaiki diri.

Justru dengan langkah ‘memberi nasehat‘, secara otomatis kita berusaha menjadi lebih baik lagi, dan bertambah rasa ‘malu’ kita untuk bermaksiat. Pahala untuk orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain tidak disyaratkan harus menjadi sempurna atau harus melakukannya lebih dulu. Wallahu a’lam. Karena tidak menutup kemungkinan, nasehat yang kita sampaikan, kelak akan membuat orang lain terpacu untuk melaksanakan amalan ma’ruf yang kita perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang kita larang sebagaimana hal ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam pengalaman seorang.

” Siapapun yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala orang yang melakukannya”, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetap saja yang lebih baik adalah ilmu itu diamalkan, baru didakwahi. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash- Shaff: 2-3).

Hendaknya jangan sampai melupakan diri sendiri. Ingatlah kembali ayat,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44).

(Ummu Aisyah)

Bagikan Berita Ini

This website uses cookies.