25 Tahun Reformasi: Kembalikan Marwah KPK

JAKARTA , – Setelah 25 tahun berselang, salah satu produk capaian penting Reformasi 1998, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami pelemahan serius. Dari permasalahan demi permasalahan yang dihadapi, kredibilitas lembaga ini terus tergerus dan saat ini adalah situasi di mana penggerusan kredibilitas KPK paling parah dalam sejarah. Akutnya permasalahan ini diungkapkan oleh para ahli, praktisi, dan aktivis anti korupsi dalam diskusi publik “25 Tahun Reformasi: Mengembalikan Marwah KPK sebagai Institusi Penegak Hukum yang Independen, Profesional, dan Berintegritas” di Universitas Paramadina, Senin (3/4/2023).

Saut Situmorang yang merupakan bekas pimpinan KPK dalam kegiatan tersebut menyatakan bahwa data-data menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik yang sangat tajam terhadap KPK. Ia juga menyorot adanya kecenderungan yang kentara bahwa lembaga tersebut digunakan keperluan dan kepentingan politik praktis.

“Yang intinya adalah mereka sangat politis di dalam melaksanakan pemberantasan korupsi… Ada banyak cukup banyak fakta yang mengatakan bahwa KPK saat ini sangat-sangat tidak independen, tidak berintegritas, dan tidak profesional. Itu sudah jelas,” ujar Saut.

Senada dengan Saut, aktivis anti-korupsi yang juga akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa politik adalah permasalahan utama terjadinya pelemahan KPK. Ada banyak pihak dalam politik dan bisnis yang sangat terganggu dengan keberadaan KPK dan melakukan segala cara untuk melemahkan KPK.

“Bahwa ini bukan soal apakah soal PR-nya saja, bukan soal key performance indicators komisioner, ini adalah soal politik,” tutur Bivitri.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, yang juga turut hadir dalam kegiatan tersebut memandang bahwa keberadaan lembaga tersebut saat ini sudah sangat jauh dari harapan saat pertama kali diinisiasi. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam kelahiran KPK di DPR RI, ia memandang bahwa keberadaan KPK justru berdampak buruk terhadap penegakan hukum.

“Setelah 25 tahun rupanya tidak ada perubahan apa-apa. Salahnya dimana..? Jadi jika KPK tidak profesional, tidak berintegritas, dan tidak independen, maka KPK bukan membawa kebaikan, tapi membawa masalah bagi penegakan hukum kita,” jelasnya.

Pengamat politik yang juga Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam, menjelaskan bahwa upaya pelemahan KPK terjadi sangat serius dalam sepuluh tahun terakhir dengan berbagai macam justifikasi yang dibangun dan dipaksakan.

“Yang terakhir Pak Saut bisa melihat, bisa mencermati secara detail dengan narasi ‘KPK sarang Taliban. Tidak habis pikir. Yang dibayangkan itu Taliban cara pandang radikalis, jenggot panjang, celana cingkrang, jidat yang agak kehitam-hitaman. Padahal yang diberhentikan banyak juga teman-teman yang berasal dari teman-teman kristiani, kalau tidak salah teman-teman dari Budha juga ada,” tuturnya.

Kasus Formula E

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, memberikan contoh kasus Formula E terkait ketidakprofesionalan KPK saat ini.

“Hilangnya marwah KPK juga dapat diidentifikasi tentang fenomena hilangnya marwah karena adanya proses pemaksaan kasus pada kasus misalnya Formula E. Kenapa? Karena semestinya sudah sangat terang-benderang tidak ada unsur pidananya, tidak ada bukti permulaan yang cukup dan lain sebagainya,” jelasnya

Kerancuan penanganan kasus Formula E juga diperkuat oleh Hamdani, auditor senior dan mantan staf ahli Menteri Dalam Negeri. Ia banyak meneliti kasus-kasus gubernur yang ditangani KPK.

“Dari 12 (kasus) itu tidak ada KPK yang meminta bantuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk dilakukan audit dulu baru ditersangkakan. Tapi, untuk yang Formula E, karena sudah kehabisan akal dalam proses penyelidikan segala macam, karena tidak ditemukan 2 alat bukti yang cukup sebagai dasar untuk menaikkan tersangka,” terangnya.

Ia juga menjelaskan bahwa audit investigasi yang dilakukan dalam kasus Formula E tidak sesuai dengan peraturan BPK.

“Peraturan BPK No.1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2020 yang mana jika KPK mau meminta audit investigasi harus menyatakan terlebih dahulu apa perbuatan melawan hukum. Artinya, (KPK) menyatakan dulu dua alat bukti yang cukup. Ini kesulitannya,” tegasnya.

Semakin akutnya permasalahan yang menghinggapi KPK, Sudirman Said, aktivis senior Transparansi Internasional Indonesia, yang ikut menggagas kelahiran KPK, memandang bahwa keberadaan KPK sudah tidak lagi membawa manfaat dan menghimbau agar lembaga tersebut dibubarkan.

“KPK sudah tidak independen, tidak profesional dan tidak berintegritas, oleh karena itu dibubarkan saja karena keberadaan KPK sudah lebih banyak melahirkan mudharat daripada manfaat,” tegasnya. (red)

Bagikan Berita Ini
Dipublikasikan oleh:
Wawan Kurniawan

This website uses cookies.